Pendidikan
karakter yang merupakan bagian dari upaya pembangunan karakter bangsa, selama
ini sudah dilaksanakan oleh pemerintah. Berbagai pelatihan, simposium, diklat, diskusi
tentang pendidikan karakter, telah diselenggarakan baik untuk guru maupun
komponen sekolah secara umum. Namun melihat perkembangannya, dampak positif
dari pendidikan karakter sepertinya belum maksimal.
Masih
banyaknya kasus tawuran antar pelajar, narkoba, pergaulan bebas, pelecehan
terhadap guru, dan tindak asusila lainnya, adalah bukti bahwa tujuan pendidikan
karakter belum tercapai secara optimal. Belum lagi dengan berbagai kasus guru
yang melakukan tindak asusila, kepala sekolah yang bermoral buruk, dan kasus kebrobrokan
moral lainnya, semakin menguatkan asumsi bahwa pendidikan karakter masih
terhenti pada tataran konsep.
Memang
bisa dikatakan bahwa masih terlalu dini untuk memberikan penilaian tersebut,
sebab rencana pembangunan karakter baru berjalan lima tahun sejak dicanangkan
(2010-2014). Akan tetapi, waktu lima tahun tentu bukanlah waktu yang sebentar guna
membangun pendidikan karakter. Semestinya dampak positif dari usaha tersebut
sudah mulai terlihat. Namun faktanya, karakter bangsa, terurama para pelajar, masih
menunjukkan sisi yang buruk.
Belum
optimalnya pendidikan karakter, menurut hemat penulis setidaknya disebabkan
oleh dua problem. Pertama, perkembangan laju arus globalisasi lebih
cepat dari pada laju perkembangan karakter. Globalisasi di segala sektor mengalir
demikian deras. Dampaknya juga cepat merambah ke masyarakat. Adanya budaya
pergaulan bebas, narkoba, serta kerusakan moral adalah dampak dari globalisasi
yang begitu cepat merasuki kalangan pelajar.
Sayangnya,
penanaman karakter tidak berjalan secepat globalisasi. Hal ini mengingat
penanaman karakter membutuh proses dan waktu yang panjang. Dalam konsep moral Kohlberg,
manusia memiliki kesadaran memilih prinsip moral untuk hidup dimulai dari usia
enam belas tahun. Artinya, manusia mulai memiliki karakter diri di usia
tersebut.
Padahal
gempuran globalisasi telah dimulai dari usia SD. Sekarang banyak anak-anak usia
SD yang telah mampu mengakses teknologi informasi. Mirisnya, yang diakses
adalah hal-hal negatif seperti video porno. Karena gempuran globalisasi yang
begitu cepat ini, penanaman karakter akhirnya terkalahkan.
Kedua,
penanaman karakter melalui pendidikan belum mendapat dukungan dari sektor lain.
Padahal dalam rencana pembangunan karakter, ruang lingkupnya meliputi keluarga, satuan pendidikan, pemerintahan, masyarakat sipil, masyarakat politik, dunia
usaha dan industri, serta lingkup media massa. Sektor-sektor tersebut belum bisa
bersinergi secara masif guna menguatkan karakter bangsa.
Di
sektor politik misalnya, saat ini yang muncul adalah politik minus karakter. Politik
ditujukan untuk meraup keuntungan pribadi, partai, serta golongan, bukan untuk
memperkuat dan mensejahterakan kehidupan bangsa. Dunia industri juga berjalan
tanpa komando. Satu sama lain saling menjegal demi memperoleh keuntungan. Persaingan
yang tidak positif dalam sektor ekonomi akhirnya terjadi. Padahal pelakunya
adalah sesama anak bangsa sendiri.
Inilah
beberapa fakta yang terjadi saat ini, dimana sektor non-pendidikan belum secara
serius menerapkan pembangunan karakter bangsa. Maka wajar jika pembangunan
karakter melalui pendidikan belum mencapai hasil yang maksimal. Kedepan, tentu diperlukan
sinergitas yang kuat antar sektor sehingga pembangunan karakter bangsa dapat
terwujud dan tidak hanya berhenti pada tataran konsep. Rencana pembangunan
karakter yang dicanangkan pemerintah akhirnya benar-benar bisa terimplementasi.